Wanita Langka di Zaman Riya: Ketika Iman Lebih Indah dari Sorotan Dunia

Wanita Langka di Zaman Riya: Ketika Iman Lebih Indah dari Sorotan Dunia

قال رسول الله ﷺ: الحياءُ شعبةٌ من الإيمان. (متفق عليه)

Ada jenis kecantikan yang tak bisa ditiru filter dan tak bisa disembunyikan kamera.
Itu bukan tentang kulit yang mulus atau senyum yang manis, tapi tentang jiwa yang malu karena takut kehilangan pandangan Allah.

Di zaman di mana dunia menilai dari followers dan wajah disulap jadi “brand”, wanita beriman jadi langka — seperti gagak putih dalam sabda Nabi ﷺ.
Ia tak perlu jadi pusat perhatian, karena ia tahu: yang mengenalnya Allah sudah cukup.

Wanita langka itu bukan tak terlihat, tapi tak ingin terlihat sembarangan.
Ia sadar aurat bukan beban, tapi mahkota. Ia menolak dijadikan tontonan karena tahu dirinya terlalu berharga untuk dilelang dengan komentar.
Ia tidak menolak modernitas, tapi ia memilih tidak menjual kesucian demi validasi.

Ketika dunia berkata: “Tunjukkan dirimu agar dianggap cantik”,
ia menjawab dalam diam: “Aku sudah cantik dalam pandangan Rabb-ku.”

Dia adalah yang berjalan di bumi tapi hatinya tersambung ke langit.
Yang memilih diam saat bisa pamer, memilih tunduk saat bisa menantang.
Bagi dunia, ia biasa; tapi bagi malaikat, ia luar biasa.

Dia tahu bahwa pakaian tak hanya menutup tubuh, tapi juga menenangkan hati.
Hijabnya bukan simbol gaya, tapi perisai dari badai pandangan dan rayuan dunia.

Zaman ini mencetak banyak bintang, tapi sedikit cahaya.
Banyak yang bersinar di layar, tapi redup di hadapan Allah.
Namun di antara gemerlap palsu itu, akan selalu ada satu jiwa yang menolak jadi bagian dari sandiwara.

Dia tetap menunduk di tengah hiruk-pikuk, tetap sabar di tengah cibiran, tetap lembut meski diuji kerasnya dunia.
Karena ia tahu, surga bukan untuk yang paling viral, tapi untuk yang paling sabar.

Dialah wanita langka di zaman riya.
Yang tidak sibuk mempercantik wajahnya di depan manusia, tapi memperindah doanya di hadapan Tuhan.
Yang tidak mengejar sorotan dunia, tapi cahaya rahmat yang abadi.
Yang ketika dunia menilai dari luar, Allah menilai dari dalam.

Maka wahai para wanita,
jadilah gagak putih itu — langka tapi terjaga.
Jadilah bunga yang tumbuh di tengah padang duri — wangi tanpa perlu menampakkan diri.
Jadilah rahasia yang Allah lindungi, bukan konten yang dunia konsumsi.

Sebab di balik kesunyianmu, ada doa yang mengguncang langit.
Dan di balik hijabmu, ada malaikat yang menunduk hormat.

“Tak perlu seluruh dunia mengenalmu, cukup Allah yang tahu betapa kau menjaga dirimu.”
Itu sudah cukup untuk menulismu di daftar wanita langka —
yang akan disambut surga dengan senyum malaikat.

Penulis : Ust Muhammad Hidayatullah – Bidang PSQ (Pengembangan Studi Al Qur’an) Dewan Dakwah Jatim

Cahaya Ilmu dari Pesantren: Menyinari Jiwa dan Peradaban

Cahaya Ilmu dari Pesantren: Menyinari Jiwa dan Peradaban

Pendahuluan

Pesantren merupakan salah satu warisan intelektual Islam paling berharga dalam
sejarah bangsa Indonesia. Ia bukan sekadar lembaga pendidikan agama, melainkan juga pusat
pembentukan moral, sosial, dan spiritual umat Islam. Sejak masa Walisongo hingga era
kemerdekaan dan modern saat ini, pesantren telah memainkan peran dalam membentuk jati diri
bangsa yang religius, berakhlak, dan berkeadaban.

Secara historis, pesantren lahir dari semangat dakwah dan pendidikan Islam yang
tumbuh alami di tengah masyarakat Nusantara. Ia menjadi wadah penyebaran Islam yang
damai, rasional, dan berakar pada budaya lokal. Melalui sistem halaqah, dan sorogan, para
kiyai mendidik santri bukan hanya agar cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara
spiritual dan beradab dalam perilaku. Di sinilah pesantren berbeda dari lembaga pendidikan
lain: ia tidak hanya mengajarkan ilmu (ta‘lim), tetapi juga menghidupkan nilai-nilai ketuhanan
dan kemanusiaan (ta’dib dan tarbiyah).

Dalam konteks pendidikan Islam, pesantren adalah simbol integrasi antara ilmu dan
amal, antara akal dan hati, serta antara dunia dan akhirat. Ilmu di pesantren tidak hanya
dipahami sebagai akumulasi pengetahuan, tetapi juga sebagai cahaya yang menerangi batin
manusia Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā berfirman
َ َلَ يَعْلَمُوْن َ ۗ اِنَّمَا قُل ْ هَل ْ يَسْتَوِى الَّذِيْن َ يَعْلَمُوْن َ وَالَّذِيْن َي ِتَذَكَّر ُ اُولُوا ا َلَْلْبَاب ࣖ
“Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui? Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal yang dapat menerima
pelajaran.”
(QS. Az-Zumar [39]: 9)

Menurut tafsir Tafsir al-Baidlawiَ
َ َلَ يَسْتَوِي الْقَانِتُون َ وَالْع َلَ يَسْتَوِي الْعَالِمُون َ وَالْجَاهِلُون كَمَا َاصُونِ ِْلَْوَّل ِ عَلَى سَبِيل ِ التَّشْبِيه تَقْرِير ٌ لِ وَق َيل
Sebagian ulama berkata : merupakan penegasan terhadap makna sebelumnya dalam
bentuk perumpamaan,yakni sebagaimana tidak sama antara orang yang berilmu dan orang yang
bodoh,demikian pula tidak sama antara orang yang taat dan orang yang durhaka.1

Ayat ini menjadi dasar filosofis pendidikan pesantren bahwa kemuliaan manusia
terletak pada ilmu yang mengantarkan kepada pengenalan dan ketaatan kepada Allah.

Namun, pesantren bukan hanya tempat belajar agama; ia juga wadah pembinaan
karakter, pembelajaran sosial, dan pusat peradaban. Di tengah krisis moral dan derasnya arus
globalisasi, pesantren hadir sebagai benteng nilai-nilai tauhid dan akhlak. Maka tak berlebihan
bila pesantren disebut sebagai “cahaya ilmu yang menyinari jiwa dan peradaban.”

Pembahasan

1. Landasan Qur’ani tentang Ilmu dan Cahaya Pengetahuan

Al-Qur’an menggambarkan ilmu sebagai cahaya yang menuntun manusia dari kegelapan
menuju terang. Firman Allah جل جلاله:ِ
ّللَاٰه ُ نُوْر ُ السَّمٰوٰتِۗوٰا ْلْٰرْض ِِۗ مٰثٰل ُ نُوْرِه ٖ كٰمِشْكٰوة ٍ فِيْهٰا مِصْبٰاح ٰا ٰلْمِصْبٰاح ُ فِي ْ زُجٰاجٰة ٍِۗاٰلزُّجٰاجٰة ُ كٰاٰنَّهٰا كٰوْك ْب دُرِي ٌّ يُّوْقٰد ُ مِن
َّْلٰ غٰرْبِيَّة ٍ يَّكٰاد ُ زٰيْتُهٰا ٍ ْلَّ شٰرْقِيَّة ٍ و شٰجٰرٰة ٍ مُّبٰرٰكٰة ٍ زٰيْتُوْنٰةْيُضِيْْۤء ُ وٰلٰوْلٰم ْ تٰمْسٰسْه ُ نٰار ِۗنُوْر عٰلٰى نُوْر ٍِۗ يٰه ّْللَاه ُ لِنُوْرِه ٖ مٰن دِى
ّٰللَاه ُ بِكُل ِ شٰيْء ٍ عٰلِيْم ُ ّللَاه ُ ا ْلْٰمْثٰال ٰ لِلنَّاس ِِۗ و يَّشٰاْۤء ُِۗ وٰيٰضْرِبۙ

“Allah (Pemberi) cahaya kepada langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah
seperti sebuah lubang yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca, dan kaca itu
seakan-akan bintang yang bercahaya terang. Dinyalakan dengan minyak dari pohon yang
diberkahi, yaitu pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat, yang minyaknya
hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah
memberi petunjuk kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.”
(QS. An-Nūr [24]: 35)

Menurut Tafsir Al-Qurthubi

“Inilah perumpamaan cahaya Allah dan petunjuk-Nya di dalam hati orang mukmin;
seperti minyak yang jernih yang hampir-hampir menyala sebelum disentuh oleh api. Maka
apabila disentuh oleh api, cahayanya semakin terang. Demikian pula hati seorang mukmin
hampir-hampir ia beramal dengan petunjuk sebelum datang kepadanya ilmu. Maka ketika
ilmu itu datang kepadanya, bertambahlah petunjuk di atas petunjuk dan cahaya di atas
cahaya. 2

Tafsir ini menegaskan bahwa ilmu adalah bagian dari cahaya ilahi yang menuntun
manusia pada jalan kebenaran. Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam menyalurkan
cahaya itu melalui pengajaran agama, akhlak, dan nilai-nilai kehidupan.

2. Pesantren dan Pembangunan Peradaban

Sejak masa kolonial hingga sekarang, pesantren berperan besar dalam mencerdaskan
umat dan membangun peradaban bangsa. Para kiai dan santri menjadi pionir perjuangan
kemerdekaan, penyebar dakwah, dan penjaga moral masyarakat. Kini pesantren tidak
hanya fokus pada pengajaran kitab klasik (turāth), tetapi juga mengembangkan ilmu sains,
ekonomi, teknologi, dan kewirausahaan berbasis nilai Islam.

Pesantren modern telah menunjukkan adaptasi luar biasa mendirikan universitas,
mengelola ekonomi santri, dan menciptakan jaringan global pendidikan Islam. Namun,semua inovasi itu tetap berakar pada nilai-nilai klasik: ikhlas, zuhud, tawadhu‘, dan
berkhidmah kepada masyarakat.

Dengan demikian, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, melainkan juga pusat
peradaban Islam di Indonesia yang menyeimbangkan antara tradisi dan kemajuan,
spiritualitas dan sains, ibadah dan pengabdian sosial.

Kesimpulan

Pesantren merupakan benteng moral dan cahaya keilmuan yang tetap kokoh di tengah
derasnya arus perubahan zaman. Di saat sebagian pihak mulai meragukan, bahkan
menyudutkan eksistensi pesantren dengan berbagai isu yang menyesatkan, lembaga ini
justru terus menunjukkan perannya sebagai penjaga nilai-nilai luhur bangsa dan pengawal
peradaban Islam yang rahmatan lil ‘ālamīn.

Di pesantren, ilmu tidak hanya menjadi pengetahuan yang diajarkan di ruang kelas,
tetapi juga cahaya yang menuntun perilaku, membentuk karakter, dan menumbuhkan
kesadaran spiritual. Para santri dididik untuk berpikir jernih, berakhlak mulia, serta siap
mengabdi kepada masyarakat dengan penuh keikhlasan.

Ketika dunia modern sering terjebak dalam krisis moral, pesantren hadir sebagai pelita
yang menghidupkan kembali semangat keilmuan yang beradab — ilmu yang membangun
hati sebelum membangun logika. Tuduhan miring terhadap pesantren sejatinya lahir dari
ketidaktahuan terhadap peran besarnya dalam menjaga keutuhan umat, mengajarkan
moderasi, serta menanamkan cinta tanah air.

Maka, di era ketika banyak orang mudah mencemooh lembaga keagamaan, pesantren
justru semakin relevan untuk dijadikan sumber solusi, bukan masalah. Dari pesantren lahir
generasi yang berilmu, beradab, dan berkomitmen menjaga kemanusiaan serta keislaman.
Pesantren bukan tempat yang tertinggal oleh zaman, tetapi justru di sanalah peradaban
tumbuh dan masa depan bangsa dibangun.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Bayḍāwī, Nāṣir al-Dīn. *Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl (Tafsīr al-Bayḍāwī).*
Beirut: Dār Iḥyā’ al-Turāth al-‘Arabī, t.t.
📚 Sumber digital: Al-Maktabah asy-Syāmilah, versi 4.61.
Al-Qurṭubī, Muḥammad ibn Aḥmad. *Al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān.* Beirut: Dār al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 2006.
📚 Sumber digital: Al-Maktabah asy-Syāmilah, versi 4.61.

 

Penulis: Ust Tino Destian – Wakil Ketua Bidang Studi Al Qur’an Dewan Dakwah Sidoarjo

Ketika Dunia Dibentangkan: Cuan, Cukup, dan Cinta yang Tersisa

Ketika Dunia Dibentangkan: Cuan, Cukup, dan Cinta yang Tersisa

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الأَنْصَارِيِّ رضي الله عنه قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ:
“وَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا، فَتُهْلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ.” (رواه البخاري ومسلم)

Bukan Takut Miskin, Tapi Takut Lupa

Rasulullah ﷺ pernah bersumpah, bahwa beliau tidak takut umatnya fakir.
Yang beliau takutkan justru ketika dunia ini dibentangkan begitu luas, hingga manusia berlomba-lomba mengejarnya, tanpa sempat bertanya: “Apakah yang kukejar ini masih halal atau sudah menelan nuraniku?”

Sungguh, bukan kefakiran yang menakutkan.
Karena fakir bisa melahirkan sabar, tapi kelimpahan bisa melahirkan lupa — lupa pada Sang Pemberi, lupa pada sesama, dan lupa bahwa di balik setiap cuan yang masuk, ada hak orang lain yang diam-diam Allah titipkan.

Cuan Itu Ujian, Bukan Tujuan

Cuan memang menggoda, bro.
Kadang datangnya deras, kadang mampet.
Sebagian orang mudah sekali dapat rezeki,
tapi sebagian lain kerja keras sampai keringatnya jadi zikir.
Itulah keseimbangan Ilahi — agar dunia tak sepenuhnya berpihak,
agar manusia belajar makna syukur dan berbagi.

Allah ﷻ mengingatkan:

وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ

“Dan pada harta-harta mereka ada hak yang telah ditentukan bagi orang yang meminta dan orang yang tidak mendapat bagian.”
(QS. الذاريات [51]: 19)

Maka ketika uang mengalir deras,
itu bukan tanda kamu paling disayang,
tapi tanda kamu sedang diuji: apakah kamu akan menyalurkannya atau menahannya?
Apakah kamu akan jadi sungai yang memberi kehidupan, atau jadi bendungan yang menahan berkah sampai membusuk di dalam?

Hak Orang Lain di Dompet Kita

Kadang, kita sibuk menghitung saldo,
tapi lupa menghitung berapa senyum yang bisa kita hadirkan dari harta itu.
Satu bungkus nasi untuk tukang parkir,
satu liter minyak untuk tetangga, satu doa tulus untuk mereka yang sedang susah — semuanya adalah investasi yang tak akan rugi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ”

“Lindungilah diri kalian dari api neraka, walau hanya dengan setengah butir kurma.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Satu setengah kurma aja bisa jadi penyelamat,
apalagi kalau kita rela menyisihkan sebagian “cuan” buat sesama.
Karena hakikatnya, harta yang kita keluarkan itulah yang benar-benar kita miliki, sedangkan yang kita simpan — bisa saja hilang tanpa pamit.

Dunia Itu Bayangan

Dunia, kata Rasulullah ﷺ, adalah seperti bayangan yang dikejar —
semakin dikejar, semakin menjauh.
Tapi kalau kita berjalan menuju Allah, bayangan itu justru mengikuti di belakang, menjadi pelayan, bukan tuan.

Jangan takut miskin, bro.
Takutlah saat hatimu kehilangan rasa cukup.
Sebab orang kaya bukan yang banyak harta, tapi yang tenang dengan apa yang ada.

Penutup

Cuan itu perlu, tapi bukan segala.
Karena pada akhirnya, yang kita bawa pulang bukan saldo, melainkan amal dan niat baik yang kita tanam sepanjang perjalanan.

Jika hari ini rezeki terasa mudah — bersyukurlah dengan berbagi.
Jika terasa sulit — bersabarlah dengan tawakal.
Karena dua-duanya adalah bentuk cinta Allah, satu dalam bentuk kelapangan, satu lagi dalam bentuk penguatan.

Ketika dunia dibentangkan, jangan jadikan ia tempat berbaring.
Jadikan ia ladang kebaikan.
Sebab dunia bukan untuk disembah, tapi untuk digunakan — agar langkah kita tetap menuju Allah, dan hati kita tak pernah kehilangan arah.

Penulis : Ust Muhammad Hidayatullah – Bidang PSQ (Pengembangan Studi Al Qur’an) Dewan Dakwah Jatim

Puasa Investasi Tak Terlihat, Keuntungan Tak Terbatas

Puasa Investasi Tak Terlihat, Keuntungan Tak Terbatas

Ridwan Ma’ruf: Puasa investasi tak terlihat.
Ridwan Ma’ruf (Ketua Majelis Pertimbangan Dewan Da’wah Sidoarjo) : Puasa investasi tak terlihat.

Puasa adalah investasi tak terlihat, tetapi keuntungannya tak terbatas. Tanpa angka pasti, tanpa batasan duniawi, balasannya hanya Allah yang tahu. Siapkah kita bertransaksi dengan-Nya untuk kebahagiaan abadi?

Puasa Investasi Tak Terlihat, Keuntungan Tak Terbatas; Oleh Ridwan Ma’ruf; Oleh Ridwan Ma’ruf: Anggota Majelis Pemberdayaan Wakaf Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Sidoarjo, Pendiri Tahfiz Quran Islamic School Al-Fatih Sidoarjo, dan Praktisi Spiritual Parenting Sidoarjo

Makna Puasa sebagai Transaksi dengan Allah

Konsep transaksional yang dimaksud dalam konteks ini bukanlah jual beli dalam bentuk barang atau jasa, tetapi lebih kepada perdagangan spiritual yang berdimensi keselamatan di akhirat serta kesejahteraan di dunia. Transaksi ini dibangun di atas pondasi value (etika) dan good quality (kualitas ibadah yang baik) kepada Allah.

Baca juga: Puasa dan Seterusnya, Stop Bullying!

Oleh karena itu, mengoptimalkan seluruh amal shalih, khususnya ibadah puasa, merupakan bagian dari interaksi spiritual yang sah dengan Allah.

Allah sendiri telah menegaskan dalam firman-Nya dalam Surah Fathir 29:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُو ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُو مِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَٰرَةً لَّن تَبُورَ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.”

Bahkan dalam ayat lain, As-Saff 10-11, Allah kembali menekankan bahwa transaksi dengan-Nya bukan sekadar ibadah, tetapi juga mencakup aspek keimanan, etos kerja di jalan-Nya, serta kepedulian sosial terhadap kaum duafa:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? Engkau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.”

Puasa sebagai Amalan yang Bernilai Istimewa

Di antara seluruh bentuk ibadah, puasa memiliki keistimewaan tersendiri dalam transaksi spiritual dengan Allah. Tidak seperti ibadah lainnya yang memiliki balasan pahala secara jelas, pahala puasa justru disamarkan oleh Allah. Dalam hadits sahih disebutkan:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ

“Semua amal Bani Adam akan dilipatgandakan kebaikannya, mulai dari sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya.’” (H.R. Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa pahala puasa ditentukan langsung oleh Allah sesuai dengan kualitasnya. Jika puasa dilakukan dengan nilai dan kualitas terbaik, maka Allah akan memberikan balasan yang sangat besar. Namun, jika puasa tidak memenuhi standar yang ditentukan, maka bisa jadi Allah menolaknya, sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta serta mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (H/R. Bukhari, No. 1903)

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

“Betapa banyak orang yang berpuasa, namun bagian dari puasanya hanya lapar dan haus belaka.” (H.R. Ibnu Khuzaimah)

Spesifikasi Ibadah yang Diterima Allah

Dalam dunia perdagangan duniawi, setiap transaksi harus memenuhi spesifikasi dan kualitas yang diinginkan oleh pembeli. Begitu pula dengan ibadah kepada Allah, harus dilakukan dengan kualitas terbaik agar diterima. Rasulullah Saw. bersabda:

عَنْ أَبِى سَعِيْدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ

“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama para nabi, orang-orang yang jujur, dan para syuhada.” (H.R. Tirmidzi)

Maka, lebih-lebih dalam perkara ibadah yang langsung berhubungan dengan Allah, haruslah dilakukan dengan penuh keikhlasan, keimanan, serta sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan hadits yang shahih. Jika transaksi dunia saja membutuhkan etika dan kualitas yang baik, maka transaksi dengan Allah tentu lebih membutuhkan perhatian, agar ibadah yang kita lakukan memiliki nilai tinggi di sisi-Nya.

Kesimpulan

Puasa adalah ibadah yang istimewa dalam transaksi spiritual dengan Allah. Pahalanya hanya diketahui oleh Allah dan diberikan sesuai dengan kualitas pelaksanaannya. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim, kita harus memastikan bahwa ibadah puasa yang kita jalankan bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga memenuhi syarat dan ketentuan yang Allah tetapkan, yakni iman yang kuat, peningkatan etos kerja di jalan-Nya, serta kepedulian sosial yang tinggi.

Semoga kita termasuk dalam golongan hamba-hamba Allah yang berhasil dalam transaksi ibadah ini dan mendapatkan balasan terbaik dari-Nya.Wallahua’lambisawab.